MOTIF TENUN TRADISONAL BIMA "BUNGA SATAKO"
Sejak zaman kerajaan, para remaja yang ada pada masa itu diwajibkan untuk bisa menenun yang di mana kain tersebut akan digunakan sebagai pakaian sehari-hari pada masa kesultanan Bima sebagai hijab atau penutup badan. Selain itu pula, keterampilan menenun atau Muna Ro Medi menjadi suatu syarat untuk perempuan bisa menikah. Keterampilan menenun tersebut nantinya akan digunakan sebagai salah satu mata pencaharian. Selain dijadikan pakaian sehari-hari, seperti yang sudah disebut di atas kain tenun ini menjadi salah satu sektor perekonomian dari masyarakat setempat. Selain bercocok tanam, berladang, bertani dan beternak masyarakat suku Mbojo ini menggunakan hasil tenunan tersebut. Dari hasil tenun tersebut beberapa penenun yang berada di daerah Rabadompu pun menjelaskan, bahwa dirinya menghasilkan kain tenun tersebut bertujuan untuk membiayai sekolah ataupun kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu kain tenun ini sangat wajib bagi wanita-wanita muda ataupun dewasa untuk membuatnya Kain Mbojo menggunakan perpaduan dari tiga warna, yang ditenun secara zigzag dengan motif-motif yang berbeda.
Motif yang di gunakan beragam namun hanya terdiri dari dua unsur yakni flora atau alam sekitarnya kecuali manusia dan hewan. Pasalnya pada masa kesultanan Bima (1640-1950) sudah menganut ajaran Islam yang di mana pada masa itu dilarang menggunakan gambar manusia dan hewan sebagai motif. Karena dipercaya hal tersebut dapat membawa ajaran lama, di mana manusia dan hewan memiliki kekuatan gaib yang harus disembah. Jenis makna simbol tenun khas Bimapun beragam mulai dari tenun Songket, Salungka, Masrai, Nggoli, Pa’a, dan jenis lainnya.
Jenis tersebut juga mempengaruhi keragaman motif yang tercipta mulai dari motif bunga, daun, garis-garis ataupun kotak-kotak. Pada zaman dahulu, motif-motif ini sering dikaitkan dengan aspek keagamaan, upacara adat dalam ritual kelahiran, kematian dan perkawinan. Tiap kain dan motif memiliki kaitannya dengan nilai-nilai dan unsur-unsur kebudayaan pada tiap daerahnya yang menunjukkan atau sebagai bentuk ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan dan kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta kehidupan semua makhluk di dunia. Sehingga pada sehelai kain tersirat makna yang sangat dalam tentang arti kehidupan.
Selain itu, warna dan jenis bahan kain tenun ini di gunakan oleh lapisan masyarakat tertentu. Motif-motif kain tenun yang ada di Kota Bima tidaklah banyak seperti motif kain tenun daerah lainnya Berdasarkan ketentuannya, motif-motif kain tenun yakni Bunga samobo, Bunga Satako (Bunga Setangkai), Bunga Aruna, Bunga Kakando, Motif Garis, Motif Geometris, Nggusu Tolu, Nggusu Upa Pado Waji, Nggusu Waru. Motif-motif tersebut mempunyai makna yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah dan kehidupan sehari-hari atau alam sekitarnya. Kebanyakan dari motif-motif tersebut menggambarkan pola tiga dari suku Bima, yang di mana tingkatan pertama yakni hubungan kepada Tuhan, tingkatan kedua hubungan antar manusia dan yang tingkatan paling bawah hubungan antar hewan atau makhluk yang kedudukannya dibawah manusia. Berhubungan pula dengan pola bangunannya, yang memiliki tiga pola antara dunia atas, tengah dan bawah.
Motif yang terkandung dalam kain tenun Mbojo ini merupakan ornamen atau motif yang diduga memiliki arti tertentu. Arti tersebut bisa sebuah bentuk rupa dari masyarakat Mbojo sebelum mengenal tulisan ataupun pesan moral dari kehidupan bermasyarakat seperti apa. Walaupun pada masa kerajaan masyarakat sudah mengenal aksara, namun masyarakat pada zaman dahulu lebih gemar menenun dan mengekspresikan pesan tersebut melalui tenun yang akan digunakannya baik untuk sehari-hari maupun dalam upacara adat. Bahasa rupa merupakan sebuah bentuk yang merangkul semua karya yang secara langsung bias dipegang, dilihat dan dirasakan. Juga sebagai perantara antar seniman atau pengrajin tenun itu sendiri dengan masyarakat yang melihatnya.
Dalam buku Bahasa Rupa yang ditulis oleh Prof. Primadi, Bahasa rupa itu sendiri terbagi menjadi dua. Pertama Bahasa rupa modern yang di mana sistem penggambarannya disebut dengan NPM (Natural Perspective Moemnopname) kemudian yang kedua yakni RWD (Ruang Waktu Datar). Dalam kasus motif tenun ini, yang sering digunakan yakni sistem penggambaran RWD, yang di mana setiap suku di Indonesia memiliki cara penggambaran yang berbeda- beda sejak zaman dahulu sebelum mengenal tulisan. Melalui gambar atau visual yang direalisasikan seperti contohnya lukisan dinding yang ada di gua-gua ataupun relief candi yang berisi cerita atau makna yang tersembunyi. Sama halnya pada motif tenun yang sudah diterapkan pada masa kerajaan zaman dahulu, beberapa kain tenun tersebut memiliki cerita ataupun makna yang religius dan sangat berkaitan dengan Tuhan dan alam sekitar.
Namun, seiring perkembangannya waktu, kain tenun Bima ini semakin lama mengalami pergeseran makna. Menurut hasil observasi dan kunjungan yang dilakukan oleh peneliti, masih banyak penenun yang menenun tanpa mengetahui makna apa yang terkandung dalam kain tersebut. Dalam pembahasan ini, para pengrajin tenun ini, selain menenun dengan motif yang sudah ditentukan, semakin banyak para pengrajin yang menenun dengan motif atau budaya luar ataupun menggabungkan motif yang berbeda suku dan ketentuan tanpa mengacu dengan nilai dan norma, namun hal tersebut diperbolehkan apabila tdak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma budayanya. Hal ini dikarenakan penenun-penenun tersebut mengikuti bagaimana permintaan pasar pada saat itu. Sedangkan motif tenun tersebut dibuat berdasarkan ketentuan dan norma terhadap Tuhan, adapun yang dibuat untuk mengadakan ritual adat ataupun upacara tertentu. Dari masalah tersebut para penenun banyak yang tidak mengetahui dan tidak menurunkan pengetahuan makna atau filosofi yang terkandung. Maka dari itu, perlunya sebuah kajian yang membahas tentang bagaimana bentuk bahasa rupa dari motif tenun Mbojo ini berkaitan dengan makna yang disampaikan oleh para penenun pada zaman dahulu agar bisa menjadi acuan yang valid. Dengan kata lain, simbol atau bahasa yang nantnya tidak dikaji akan mengalami kehilangan makna dan nilainya apabila tidak dipertahankan. Hal tersebutlah yang menyebabkan pergeseran makna dari motif yang digunakan
Namun, seiring perkembangannya waktu, kain tenun Bima ini semakin lama mengalami pergeseran makna. Menurut hasil observasi dan kunjungan yang dilakukan oleh peneliti, masih banyak penenun yang menenun tanpa mengetahui makna apa yang terkandung dalam kain tersebut. Dalam pembahasan ini, para pengrajin tenun ini, selain menenun dengan motif yang sudah ditentukan, semakin banyak para pengrajin yang menenun dengan motif atau budaya luar ataupun menggabungkan motif yang berbeda suku dan ketentuan tanpa mengacu dengan nilai dan norma, namun hal tersebut diperbolehkan apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma budayanya. Hal ini dikarenakan penenun-penenun tersebut mengikuti bagaimana permintaan pasar pada saat itu. Sedangkan motif tenun tersebut dibuat berdasarkan ketentuan dan norma terhadap Tuhan, adapun yang dibuat untuk mengadakan ritual adat ataupun upacara tertentu. Dari masalah tersebut para penenun banyak yang tidak mengetahui dan tidak menurunkan pengetahuan makna atau yang terkandung. Maka dari itu, perlunya sebuah kajian yang membahas tentang bagaimana bentuk bahasa rupa dari motif tenun Mbojo ini berkaitan dengan makna yang disampaikan oleh para penenun pada zaman dahulu agar bisa menjadi acuan yang valid. Dengan kata lain, simbol atau bahasa yang nantinya tidak dikaji akan mengalami kehilangan makna dan nilainya apabila tiodak dipertahankan. Hal tersebutlah yang menyebabkan pergeseran makna dari motif yang digunakan.
Motif yang digambarkan pada kain merupakan representasi dari sekuntum bunga, sesuai dengan namanya yakni Bunga Satako yang artinya bunga sekuntum. Bisa terlihat dari wimba 1 dan 2, sulur bunga digambarkan secara zigzag dengan istilah Bimanya Kerai Cepe serta berhadapan dan menyambung dengan bunga lainnya. Kerai Cepe motif atau pola yang ditenun secara zigzag, dari bentuk zigzag tersebut bisa terlihat ada sudut yang menghadap ke atas ataupun ke bawah yang bermakna bahwa perjalanan manusia yang dinamis ada bahagia dan sedihnya. Kemudian Wimba 3 merupakan objek tunggal yang berada di tidk puncak dan dikelilingi oleh wimba 1 dan 2. Menandakan bahwa cara komposisi yang ada pada kain tersebut, menonjolkan wimba 3 sebagai pusat perhatian sehingga dalam penggambaran motif tersebut tercipta bentuk Segitiga atau Nggusu Tolu yang di mana sudut teratas merupakan sudut yang paling diutamakan.
Dalam kain tersebut, warna yang paling dominan yakni menggunakan warna Merah jambu atau Dana Bako memiliki simbol bagi pengguna kain tersebut agar memiliki pribadi yang tabah dan tangguh dalam menjalani hidup dan mengemban tugas. Sedangkan warna motif yang ditenun yakni menggunakan benang emas, jika dahulu benang emas hanya digunakan oleh bangsawan dan kerajaan sekarang benang emas sudah bisa digunakan secara meluas tergantung dengan permintaan pasar tanpa memandang kelas sosial.
Motif yang digambarkan pada kain merupakan representasi dari sekuntum bunga, sesuai dengan namanya yakni Bunga Satako yang artinya bunga sekuntum. Bisa terlihat dari sulur bunga digambarkan secara zigzag dengan istilah Bimanya Kerai Cepe serta berhadapan dan menyambung dengan bunga lainnya. Kerai Cepe motif atau pola yang ditenun secara zigzag, dari bentuk zigzag tersebut bisa terlihat ada sudut yang menghadap ke atas ataupun ke bawah yang bermakna bahwa perjalanan manusia yang dinamis ada bahagia dan sedihnya. Kemudian Wimba 3 merupakan objek tunggal yang berada di titik puncak dan dikelilingi oleh wimba 1 dan 2. Menandakan bahwa cara komposisi yang ada pada kain tersebut, menonjolkan wimba 3 sebagai pusat perhatian sehingga dalam penggambaran motif tersebut tercipta bentuk Segitiga atau Nggusu Tolu yang di mana sudut teratas merupakan sudut yang paling diutamakan. Dalam kain tersebut, warna yang paling dominan yakni menggunakan warna Merah jambu atau Dana Bako memiliki simbol bagi pengguna kain tersebut agar memiliki pribadi yang tabah dan tangguh dalam menjalani hidup dan mengemban tugas. Sedangkan warna motif yang ditenun yakni menggunakan benang emas, jika da-hulu benang emas hanya digunakan oleh bangsawan dan kerajaan sekarang benang emas sudah bisa digunakan secara meluas tergantung dengan permintaan pasar tanpa memandang kelas sosial.
Ciri yang menonjol dalam motif ukiran dan tenun Bima adalah garis, bunga dan buah-buahan. Para penenun Bima jarang sekali menggunakan motif manusia dan binatang. Kalaupun ada hanyalah sebatas motif kupu-kupu dan Kapi Keu atau kepiting. Motif tenun Bima didominasi oleh bunga dan garis. Sedikitnya ada tiga motif bunga dan dua jenis buah buahan yang biasa dirangkai oleh para penenun hingga saat ini yaitu motif bunga satako atau bunga setangkai, bunga samobo atau bunga sekuntum, aruna atau nanas, kakando atau rebung dan mundu atau bunga melati. Apa makna motif bunga dan buah itu dalam filosofi hidup masyarakat Bima. Bunga Satako atau setangkai adalah lambang kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya. Bunga Samobo atau bunga sekuntum memberikan pesan bahwa sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
Motif hias Bunga Satako (bunga setangkai) Motif ini adalah motif tumbuh-tumbuhan (bunga) yang umumnya terdapat pada Baju pasangi yaitu pakaian kebesaran sultan yang dikenakan dalam upacara-upacara adat kesultanan seperti upacara U’a pua dan upacara Tuha ra Lanti (pelantikan sultan Bima). Motif Hias Bunga Satako (bunga setangkai) terdapat juga pada mahkota kesultanan Bima, keris kesultanan Bima. Motif hias Bunga Satako merupakan salah satu motif hias tumbuhan yang kerap dijumpai pada pakaian adat kesultanan, seperti pada Baju sultan (Baju Pasangi), mahkota sultan, bahkan juga terdapat pada keris kesultanan. Motif ini memiliki makna sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga dan masyarakat, bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya. Dalam keragaman motif hias pakaian adat kesultanan Bima, pada motif hias tumbuhan juga terkandung makna yang dalam, dalam hal ini, motif hias Bunga Satako dan Bunga Samobo merupakan motif hias tumbuhan yang dapat dijumpai pada pakaian adat kesultanan Bima. Menurut hasil penelitian motif hias Bunga Satako merupakan motif hias yang terlihat pada Baju Pasangi Sultan Bima, yang dibuat secara berulang-ulang sehingga membentuk serangkaian motif hias bunga yang indah, motif ini memiliki makna yang berkenaan dengan pegangan suatu keluarga kesultanan. Seorang sultan tidak hanya dapat memberikan kebahagiaan bagi keluarganya, namun juga harus dapat berbagi kebahagiaan dengan rakyatnya. (Munawar)