JOMPA (Ekspresi Budaya Tradsional)

Jompa Jompa  adalah sejenis rumah kecil yang beratap dari alang-alang atau genteng, bertiang empat, berbentuk segi empat, berlantai tiga dan memiliki satu pintu. Tiga lantai rumah jompa ini memiliki fungsi yang berbeda yaitu lantai bawah digunakan untuk dapur juga sebagai kandang, lantai dua digunakan untuk istirahat dan lantai tiga digunakan untuk penyimpanan padi. Untuk bangunan yang di tinjau ini tiangnya empat buah termasuk yang di sebut Ri’i berbentuk huruf A. Tiap ri’i rumah jompa di beri wole semacam pasak untuk mengunci tiangnya. Untuk pondasi rumah adat jompa digunakan batu yang di ambil dari sungai untuk penyangga bangunan. Ukuran pondasi biasanya bervariasi, tergantung besar tiang penyangga bangunan, ada pemasangan pondasi, langsung diletakkan di permukaan tanah, seiring dengan waktu semakin lama pondasi tertanam oleh tanah yang disekitarnya maka semakin kuat batu tersebut. Pada tiang penyangga biasanya digunakan kayu jati, dengan sistim penyambungan menggunakan sambungan kayu.

Yang lebih menarik dari rumah jompa/langge yaitu tikus tidak dapat naik ke atas rumah karena terhalang oleh nggapi, dan batu pondasi pun konon katanya di mantrai oleh para sando (dukun) agar tikus tidak bisa naik ke rumah. Lantai rumah jompa/langge menggunakan bahan dari bambu yang disebut nggore sari dan bertingkat tiga. Lantai pertama digunakan untuk aktifitas menyambut tamu ataupun menenun yang disebut, sedangkan lantai kedua juga terbuat dari bambu yang digunakan untuk ruang tidur yang disebut ade uma. Untuk dapat naik ke lantai dua menggunakan tangga Lantai tiganya disebut pamoka untuk penyimpanan bahan makanan. Rumah Jompa merupakan awal bangunan arsitektur zaman ncuhi suku Mbojo sekitaran aban 12 masehi, masa kepopulerannya Jompa  berakhir pada tahun 1990 Masehi, dan sekarang yang masih menggunakan Jompa ini sebagai penyimpanan bahan makanan seperti padi dan jagung hanya tinggal beberapa Kelurahan saja di Kota Bima.

Atap ini dinamakan dengan sebutan butu uma. Bagian bawah dari atap ini biasanya diberi tutup atau plafon yang namanya adalah Taja Uma. Bahan yang dipakai untuk membuatnya adalah kayu pohon lontar. Jadi antara atap dan plafon, selalu menggunakan bahan yang sumbernya sama. Karena menggunakan bentuk segitiga atau pelana kuda, atap ini juga menghasilkan fasad-fasad yang bentuknya juga segitiga sama sisi dan menjadi bagian utama dari tampilan muka. Bidang segitiga ini juga ditutup dengan atap alang-alang. Sedangkan bagian pinggirannya dirapikan dengan cara ditutup menggunakan atap alang-alang lain yang dibuat menjadi susunan yang memanjang menggunakan kayu atau bambu. Kayu untuk memansang atap pinggir ini dibuat dengan ukuran yang lebih tinggi dan dipasang di seblah kiri dan kanan sisi fasad segitiga. Kemudian ukuran kayu yang lebih panjang ini akan menciptakan suatu tampilan yang suatu menyilang. Meski terlihat sangat sederhana namun tampilan kayu yang menyilang ini mampu membuat atap bangunan terlihat lebih cantik dan artistik. (SS)