ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BIMA
ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BIMA
Pada umumnya, perkawinan di Bima dilangsungkan setelah musim panen. Juga pada bulan-bulan yang bersejarah menurut agama Islam, misalnya: bulan Maulud, Rajab, dan Zulhijjah. Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada faktor ekonomis, yaitu ketepatan pada bulan-bulan tersebut terjadi musim panen. Dasar pertimbangan mereka tersebut terletak pada faktor ekonomi, di mana sebelum bulan Zulqaidah mereka baru saja mengadakan perayaan-perayaan sehingga perekonomian menipis dan dalam menghadapi hari raya Qurban mereka juga memerlukan persiapan-persiapan seperlunya. Masyarakat Bima mengenal dua bentuk perkawinan yang lazim menurut istilah setempat, yakni perkawinan yang dikehendaki oleh adat dan bentuk yang menyimpang dari kehendak adat pada umumnya.
Perkawinan yang diinginkan oleh adat dinamakan perkawinan yang baik disebut “Londo Taho”. Londo Taho adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga dengan didahului oleh pinangan pihak laki-laki kepada orang tua si gadis melalui cara-cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan adat “ Londo Iha” sering disebut “selarian”. Sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila pinangan dilaksanakan. Kalau di Lombok disebut Merarik suatu adat dimana seorang laki-laki harus melarikan atau menculim si gadis sebelum melakukan ritual pernikahan, merarik ini umum terjadi dikalangan masyarakat Sasak Lombok, merarik biasanya dilakukan oleh penduduku desa yang masih memegang teguh tradisi. Proses merarik ini didahului oleh calon pengantin laki-laki harus melarikan atau menculik si gadis tampa diketahui oleh keluarga si gadis, proses ini kemudia dilanjutkan dengan memberitahukan kepada keluarga bahwa mereka telah menculik si gadis. Informasi ini harus diberikan sebelum tiga hari, yang kemudia dilanjutkan dengan pernikahan di rumah laki-laki.
Sesungguhnya masyarakat Bima telah meletakkan syarat-syarat untuk kawin sepenuhnya didasarkan pada hukum Islam. Akan tetapi, beberapa syarat yang telah ditentukan merupakan persyaratan yang jauh lebih penting untuk dilaksanakannya perkawinan. Syarat itu, dalam mengenai jumlah co’i atau mas kawin, sekalipun di dalam Islam soal mas kawin tidak ditentukan jumlahnya; juga persetujuan pihak orang tua gadis dapat dianggap sebagai syarat yang cukup menentukan dapat tidaknya suatu perkawinan dilangsungkan. Namun, apabila pihak orang tua gadis yang kurang setuju terhadap pemuda yang melamar anaknya, jelas untuk menolak lamaran secara terang-terangan dianggap kurang menghormati perasaan. Maka dari itu, caranya adalah dengan mengajukan permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak ada persetujuan jumlah yang diminta, sudah dapat dipastikan perkawinan ditunda. Co’i dan persetujuan orang tua si gadis dapat diterima atau tidak, dengan kata lain, kedudukan untuk menentukan pilihannya memang dimungkinkan, tetapi pada akhirnya orang tua dan kerabatnyalah yang menentukan apakah pilihan tersebut sesuai atau tidak.
Maka dalam hal ini, dapat dipahmi bahwa kebiasaan etnis Bima dalam hal memilih jodoh, pada dasarnya seorang gadis memilih calon suaminya, tetapi kebebasan tersebut akhirnya harus tunduk pada keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Inilah perkawinan sebaik-baiknya etnis Mbojo. Dalam uraian tentang mencari jodoh telah dilangsungkan perkawinan dengan sebaik-baiknya di kalangan etnis Mbojo, bahwa kebebasan memilih jodoh tunduk pada persetujuan orang tua serta keluarga dari kedua belah pihak sebagai awal dari upacara adat sebelum perkawinan disebut “Panati” (juru lamar).
Selanjutkan setelah proses pelamaran dilaksanakan tiba saatnya menentukan “Waktu Karawi” dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan perencanaan waktu, pembiayaan, dan pelaksanaan perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga. Orang tua si pemuda mengundang keluarga terdekat seperti saudara, nenek, serta kerabat lainnya untuk “Mbolo Keluarga” atau bermusyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan. Dalam musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan yang bertujuan untuk menimbulkan partisipasi semua anggota kerabat bergotong-royong memikul biaya. Musyawarah keluarga tersebut akhirnya memutuskan pelaksanakan keputusan keputusan tersebut segera disampaikan oleh Ompu Panati kepada pihak keluarga si gadis. Dalam ungkapan bahasa Bima, kalimat-kalimat yang di lakukan Ompu Panati sebagai berikut: “Mai kabouku nggahi ra wi’i kai warasi tadir Allah, bunesi ntika nggahi ra wi’i de takalampa rawiku wura ake”, artinya lebih kurang bahwa “Kami datang menyambung kata-kata yang disampaikan dan diniatkan bersama kemarin, sekiranya Tuhan menghendakinya, maka alangkah baiknya kita melaksankan hajat (perkawinan) pada bulan ini”. Dengan adanya pemberitahuan maksud tersebut, maka keluarga pihak gadislah yang kemudian menentukan waktunya secara lebih terperinci mengenai hari dan tanggal pelaksanaannya. Keputusan oleh pihak keluarga si gadis sangat penting karena menyangkut persiapan hajat pernikahan tersebut.