KERIS (BIMA : SAMPARI) PUSAKA NCUHI DARA
KERIS (BIMA : SAMPARI) PUSAKA NCUHI DARA.
Keris (bahasa Bima : Sampari) Ncuhi Dara ini mesih tersimpan baik pada keluarga Jufri Irwan (44 th) warga Kampung Dara, Kalurahan Dara, Kecamatan RasanaE Barat, Kota Bima yang diwarisi secara turun-temurum dari nenek moyangnya. Keberadaan keris pusaka itu ditangan keluarga Jufri Irwan sebagai keturunan Ncuhi Dara kemudian dikukuhkan sumber tertulis ( Qaul Al-Haq ), yaitu surat pernyataan dari Sultan Abdul Aziz (1868-1881 M) yang menjelaskan hak dan tugas Ncuhi Dara sebagai akibat pertalian kekerabatan antara Ncuhi Dara dengan Indra Zamrut, karena menurut beberapa versi Cerita Asal, Indra Zamrut diangkat anak oleh Ncuhi Dara. Dalam Surat pernyataan yang diberi tanggal Hari Senen, 15 Zulkaidah 1284 atau 1294 Hijrah itu dinyatakan bahwa keris tersebut milik Indra Zamrut, yang diberikan kepada Ncuhi Dara.
Adapun isi lengkapnya surat perjanjian tersbut adalah sebagai berikut (alih aksara) Hijratun Nabi kita Muhammad Saw. sanah 1294 tahun permulaan pada lima belas hari bulan Dzul Qaidah pada hari Isnain jam pukul tujuh tatkala itulah Duli hadirat paduka yang dipertuan kita Sri Sultan Bima ismuhu Abdul Aziz ibnu paduka yang dipertuan kita Sri Sultan Abdullah Raja Ma Wa’a Adil yang menyuruh juru tulis istana yang tua bergelar Bumi Parise Mbojo yang bernama Abdurrahman akan membaharui dan menta’kidkan perjanjian serta bersumpahi peninggalan raja2 almarhum yang turun di tanah Bima kedua bersaudara, seorang yang bernama Indra Kemala dan seorang yang bernama Indra Jamrut . Raja yang kedua itu yang empunya perjanjian dan bersumpahnya dengan Ncuhi Dara dengan anak raja yang kedua, maka serta lalu Maharaja Indra Jamrut pun bertitah kepada Ncuhi Dara itu serta memberikan keris yang berhulukan besi dengan satu surat azimat kepada Ncuhi Dara akan menaruh tanda mengaku bapanya kepada Ncuhi Dara itu beserta dengan mendirikan sumpah kepada bapanya Ncuhi Dara itu yang tetap mutalazim sampai turun temurun yang tiada boleh berubah2 selama-lamanya.
Pertama tiada boleh diambilkan anak cucunya yang perempuan yang menjadi dayan2 didalam istana Duli paduka yang dipertuan kita Sri Sultan dan tiada boleh diambil oleh adat tanah Bima daripada kuda dan kerbaunya dan kambingnya dan hayamnya dan barang sebagainya daripada pekerjaan adat. Demikianlah tiada boleh disuruh menyuruh daripada tempat yang lain melainkan tetap juwah akan menunggui perigi ia jua pekerjaannya sampai dengan segala anak cucunya oleh Ncuhi Dara adanya. Sebagailagi pekerjaan Ncuhi Dara itu jikalau ada anaqnya duli paduka yang dipertuan kita yang mempunyai tahta kerajaan Bima hendaklah Ncuhi Dara dengan segala anak bininya pada tiap-tiap malam jum’at datang menjaga anakda paduka tuan kita Sultan itu atas pekerjaan memelihara akan semangatnya adanya. Sebagailagi adapun jabatan Ncuhi Dara jikalau ada anaqnya Duli paduka Tuan Kita Sultan baik laki2 baik perempuan yang atas Ncuhi Dara jua akan mengadakan tali kuwarinya daripada tali pancingnya jua akan diganti oleh Bata Jero dengan benang yang lain tali pancing yang diambilnya dengan selengkap sojinya adanya. Sebagailagi jikalau ada sultan yang dilantikkan di atas nama tahta kerajaan yang mesti jua Ncuhi Dara jua yang melantiknya dipasar sore sampai turun temurun maka jikalau Ncuhi Dara tiada boleh sendiri digantikan dirinya dengan bumi Banggapupa dari karena jaman yang dulu2 Ncuhi dara itu yang menjadi raja di Mbojo. Ncuhi Desya itu yang dibutukan oleh Ncuhi Dara yang menjadi bumi Luma di Mbojo dari sebab itulah yang boleh bumi Banggapupa menggantikan itu Ncuhi Dara melainkan baharulah paduka Tuan Kita Sri Sultan Ismail dan paduka Tuan Kita Sri Sultan Abdullah jua yang dilanti oleh bumi Banggapupa adanya.
Keris yang berhulukan besi dengan satu surat azimat itu konon diberikan oleh Indra Zamrut (Putra Sang Bima) sebagai tanda pengakuan kepada Ncuhi Dara sebagai bapaknya disertai dengan sumpah dan janji secara turun-temurun yang tidak boleh berubah selama-lamanya. Sumpah itu antara lain jikalau ada sultan yang dilantik di atas nama takhta kerajaan, maka yang harus melantiknya adalah Ncuhi Dara di Pasar Sore sampai turun temurun
Yang menarik dari keris tersebut ialah menyatunya besi bilah (wilahan) dengan hulu keris, artinya besi wilahan ditempa menjadi satu dengan hulu kerisnya. Hulu keris menggambarkan seorang tokoh dalam posisi duduk di atas kursi kedua tangan menyilang di depan perut, rambut terurai (gondrong) tanpa memakai penutup kepala. Konon tokoh yang digambarkan adalah Sang Bima. Boleh jadi dugaan tersebut benar meskipun dalam tradisi kesenian Jawa, secara ikonografi tokoh Bima belum pernah digambarkan dalam posisi duduk, selalu berdiri. Mungkin hal itu dapat dipandang sebagai “kearifan lokal “. yaitu pengaruh budaya Jawa yang sudah diadaptasikan dengan budaya lokal (Bima), sehingga dianggap menjadi milik sendiri. Keris-keris dengan bilah (wilahan) yang dibuat menyatu dengan hulu kerisnya dikenal sebagai keris Majapahit. (Munawar, ss)