EKSPRESI BUDAYA TRADISONAL KURU KAWUBU

Salah satu kearifan lokal yang ada di Kota Bima yang sampai saat ini masih di lestarikan adalah adanya budaya dan adat istiadat yang menyiratkan nilai-nilai moral yang disosialisasikan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui sangkar burung puyuh tradisional. Sangkar burung puyuh tradisional ini kemudian dibuat secara turun temurun, agar setiap generasi dapat memelihara dan melestarikan budaya suatu kerajinan tangan ini, seperti moral dan nilai yang terkandung di dalamnya. Selain moral dan etika, dalam Kuru Kawubu  yang paling mendukung adalah nilai estetikanya

Kerajinan sangkar burung ini sudah ada sejak pada zaman penjajahan Belanda dan merupakan warisan dari para leluhur. Awal pembuatan sangkar burung puyuh ini merupakan hanya sebagai hiasan untuk dipajang di depan rumah Masyarakat Bima terkhususnya di Kelurahan Lelamase, Rabadompu Barat, Oi Foo, Kendo, Kumbe serta Nungga. Namun sangkar burung puyuh ini selain dijadikan hiasan di depan rumah, ternyata memiliki nilai-nilai estetika dan mitologi pada zaman itu. Konon katanya sangkar burung puyuh ini (jaba kawubu) diyakini sebagai penolak ilmu santet. Sejak beratus ratus tahun terutama pada Masyarakatt tradisi Kota Bima 

Kawubu biasa dipelihara didepan rumah dengan menggunakan jaba yaitu sebuah sangkar tradisional yang memang khusus kawubu atau yang diyakini burung alam gaib. Jaba atau sangkar burung puyuh ini sepintas terlihat suatu bentuk keindahan dan makna yang berbeda dengan sangkar burung seperti biasanya. Karena sangkar ini dibuat khusus burung puyuh tanah ini dan tidak boleh digunakan untuk burung lainya sebab sangkar ini berukuran kecil dengan diameter 20 cm, dan terdapat keunikan serta estetika tersendiri dari tangan seniman kriya. Selain sebagai kurungan untuk burung puyuh namun memiliki fungsi lain yaitu sebagai perangkap yang dilengkapi dengan alat-alat lainya untuk menjebak burung puyuh lain, perangkapnya ini terdapat di depan pintu sangkar burung tersebut.

Kawubu adalah sejenis Puyuh hutan. Burung ini tergolong unik. Dia ditempatkan dalam sangkar yang tertutup rapat sehingga aktivitasnya pun tidak dapat dilihat. Pakan atau makanannya disimpan dalam sangkar dan bercampur dengan kotorannya. Meskipun ada juga yang disimpan dalam kotak kecil. Tempat air minumnya dari botol bekas minuman larutan cap kaki tiga atau botol suprite ukuran kecil yang dilubangi segi empat sejajar dengan lubang sangkarnya. Kawubu tidak hidup di pepohonan sebagaimana burung lainnya. Burung ini hidup di tanah di hamparan ladang atau padang savana. Makanya orang yang menangkapnya meletakan perangkap di tanah. Burung ini tidak terbang tinggi. Ketinggian terbangnya tidak sampai satu meter, tetapi sekali terbang bisa mencapai satu sampai dua kilometer. Hal inilah yang membuatnya sulit untuk ditangkap. 

Budayawan Fahru Rizki menyebut Kawubu sebagai burung Magis. Sediikitnya ada tiga keyakinan atau mitos yang ada dalam seeokor Kawubu. Pertama penolak sihir. Warga Bima di pegunungan dan pedesaan meyakini Kawubu dapat menolak pengaruh jahat terutama sihir dan santet yang dialamatkan kepada rumah dan pemilik Kawubu. Kedua, dapat mencegah kebakaran dan musibah. Pernah ada cerita bahwa rumah pemilik Kawubu tidak terbakar padahal pada satu kompleks itu rumah rumag terbakar. Ketiga dapat membawa Rejeki bagi pemiliknya.

Jika anda berjalan jalan di wilayah pinggir kota Bima atau di pedesaan, tanpak setiap rumah memiliki Kawubu. Ada yang nemiliki satu ekor bahkan ada yang memiliki beberapa ekor. Kawubu yang dipelihara adalah yang betina karena Kawubu betina lah yang berbunyi. Di kota Bima ada perlombaan Kawubu yang digagas oleh almarhun H.M.Noer A.Latief walikota Bima 2003-2009. Harga Kawubu pun berfariasi mulai dari Rp.250.000 hingga lebih dari satu juta rupiah. Kawubu adalah burung khas yang dipelihara warga Bima di pelosok desa. Tidak lengkap sebuah rumah apabila tidak memelihara Kawubu. Apa yang saya sampaikan ini hanyalah mitos, percaya atau tidak percaya tergantung pembaca. Saya juga termasuk pencinta Kawubu karena suaranya tengah malam nan syahdu. (Munawar, ss)