Warisan Budaya Takbenda Kota Bima (Kareku Kendei)

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus di jadikan. Banyak tradisi unik dan menarik yang bisa kita temukan Bima, Salah satunya adalah tradisi Kareku Kandei (memukul lesung) sebagai salah satu dari obyek Warisan Budaya Takbenda (WBTB) yang hanya dilakukan oleh kalangan perempuan yang ada di Bima. Pada tradisi ini, beberapa orang perempuan memukul Lesung (wadah padi) kosong yang terbuat dari batang pohon  dengan alat pukul sebilah bamboo atau dalam masyarakat Bima disebut Aru.

Kareku Kandei atau memukul lesung awalnya muncul dari kerukunan yang dibina sejak berabad-abad secara turun temurun karena pada zaman dulu belum ada mesin penggiling padi, maka jika para petani menggunakan lesung sebagai alatnya. dan jika ada orang yang berhajatan tentunya orang kelas menengah ke atas, memerlukan beberapa orang untuk mengubah gabah padi menjadi beras. Dari situlah masyarakat bermusyawarah akhirmya membuat alat yang bentuknya seperti perahu yang terbuat dari kayu yang berukuran sebesar pohon kemudian dilubangi bagian tengah. Lesung tersebut digunakan untuk menguliti gabah menjadi beras dengan bantuan alat yang bermama Alu atau Aru (bahasa bima ) Mbaju (menumbuk padi dengan kandei). memiliki keunikan yang terletak pada bunyi pukulan yang keluar dari lesung tersebut dengan berbagai ragam ritme dan irama adalah sebuah tradisi unik masyarakat Bima yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Atraksi ini biasa dilakukan oleh kaum perempuan, Hal ini dilakukan sebagai hiburan para petani melepas lelah setelah selesai menumbuk padi dan membersihkannya hingga menjadi beras.

Cara pembuatan lesung adalah dengan dibuang bagian dalamnya kayu lalu gabah yang akan diolah ditaruh di dalam lubang tersebut, padi dan gabah lalu ditumbuk dengan alu secara berulang-ulang sampai beras terpisah dari sekam. Pada Zaman dahulu. Kareku Kandei juga dapat diringi senandung E Aule dan iringan Biola serta Gambo (Gambus) yang dilaksanakan terutama saat-saat panen padi dan sebagai ajang berkumpulnya muda mudi untuk bersyair, berpantun dan bersenandung. Adanya Kareku Kandei ini bertujuan salah satunya adalah untuk  menghibur para petani yang begitu penak dan letih melakukan pekerjaan yang berat disawah dan diladang. Dengan adanya hiburan dari suara yang dikeluarkan oleh Lesung itu sendri dapat membangkitkan kembali semangat para petani karenapada zaman dahulu alunan Lesung begitu indah dan senandung untuk dinikmati yang masih begitu kental dengan musik khas daerah Bima.  (Munawar)

     

Selain sebagai tugas khusus bagi wanita, Kareku Kandei juga sebagai bukti bahwa kebersamaan perempuan tetap terjaga. Tradisi ini merupakan bentuk gotong royong dan kebersamaan bagi para wanita Bima. Kareku kandei tidak hanya sebagai sebuah hiburan bagi para petani pada saat pasca panen namun biasa dilakukan untuk sebuah Peringatan atau bertanda bagi warga desa, apabila Kendei dibunyikan dari sebuah rumah berarti menandakan bahwa ada sebuah hajatan atau kerja bakti lingkungan tersebut. Apabila sebuah hajatan diadakan disebuah rumah atau satu kepala keluarga warga desa yang lan akan bergegas membantu hajatan tersebut dan membawa masing-nmasing sumbangan atau (Dalam Bahasa Bima ) Tekarne'e.

Seiring perkembangan zaman dan tehknologi modern saat ini sudah tidak terdengar lagi alunan suara dari Kareku Kandei tersebut. Prosesi menumbuk padi sudah tergantikan dengan penggilingan padi yang tersebar di seluruh pelosok desa. Kini Lesung dan Alu sudah dimuseumkan oleh warga. Alat-alat tradisonal ini juga sudah banyak yang lapuk termakan usia karena tidak terawat dan disimpan begitu saja di kolong-kolong rumah. Namun ada juga kreasi-kreasi dari generasi muda serta beberapa elemen masyarakat untuk melestarikan tradisi ini. Kandei (Lesung) menjadi salah satu alat musik tradisonal dalam bentuk kolaborasi musik yang menghasilkan harmonisasi musik tradisIonal modern.